Masih adakah aku dihatimu? Masih adakah cerita kita dalam memori ingatanmu? Masihkah kau mencintai diriku?
***
“Sayang, mau pulang bareng?”, tanyaku.
“Ya terserah kamu mau nunggu apa ga. Kalo ga mau nunggu pulang duluan aja.”, jawabnya.
“Ya udah aku tungguin.”
“Eh, aku titip formulir pendaftaran OSIS dong! Aku pengen ngacauin struktur OSIS. Hahaha… ”, ucapnya bercanda pada seseorang.
“Kamu mau jadi pengurus OSIS beneran?”
, aku kembali bertanya. Setahuku dia alergi banget sama organisasi macam itu.
“Ya ga mungkin lah.”, jawabnya singkat.
Hanya derap langkah yang terdengar. Tidak ada kalimat yang terlontar, baik dari dia maupun aku.
“Kenapa rasanya jadi ga enak gini yah?”, batinku.
“Ntar kamu les?”, akhirnya dia membuka percakapan.
“Iya. Jam setengah tiga sampai jam empat.”
Rasanya kurang tepat jika dikatakan pembuka dari sebuah percakapan, karena setelah itu dia kembali terdiam.
“Aku duluan. Assalamualaikum.”, begitu kalimat terakhirnya. Tanpa senyuman. Tanpa gurat sayang seperti biasanya.
“Iya. Wa’alaikumsalam.”
Apa ini hanya perasaanku saja? Ataukah memang dia mulai tidak menyukai hubungan ini?
***
Assalamualaikum,
Sayang,
nyampe rmah lgsg istrahat yah,
jgn lupa sholat dzhur dlu,,
Begitu SMS singkatku untuknya. Jujur aku mengharapkan sebuah balasan, meskipun hanya beberapa kata. Tapi ternyata tidak. Sama sekali tidak menunjukkan adanya pesan balasan.
Entah karena kecewa atau memang aku sudah terlalu lelah, akhirnya aku tertidur.
***
Pukul 13.15 aku terbangun karena mendengar suara alarm. Untung tadi sempat nyalain alarm. Kalo ga, bisa telat berangkat les. Yang paling penting adalah karena aku ga telat bangun buat sholar dzuhur. Tapi seperti biasa, aku baru beranjak dari kamar beberapa menit setelahnya.
Seketika aku teringat sesuatu. Kemudian aku berusaha mengambil handphone dari tumpukan bantal secepat mungkin. Tapi mengecewakan. Tidak ada sesuatu yang menarik dilayarnya. Tidak ada sesuatu yang menunjukkan adanya sebuah pesan baru.
Setelah mandi dan sholat dzuhur, aku bersiap-siap untuk berangkat les. Seperti biasa, aku mengetik pesan padanya untuk berpamitan. Masih dengan berharap akan mendapat balasan darinya.
***
Sepulang les aku segera masuk kamar lalu mengambil wudhu untuk sholat ashar. Tentu aku tidak akan melupakan kewajibanku yang satu itu. Kemudian aku menyalakan komputer dan melakukan salah satu kegemaranku. Apalagi kalau bukan membuat sebuah cerita singkat.
Namun tetap saja aku teringat padanya. Dia berubah. Dia sibuk dengan dirinya sendiri. Dia seolah tidak peduli lagi denganku.Dia seolah tidak membutuhkanku.
Hatiku kembali terasa perih. Jujur aku sakit merasakan perubahan yang terjadi pada dirinya. Aku mulai berpikir, apa dia sudah bosan menjalani hubungan denganku ini? Tanpa terasa ada cairan hangat yang menetes dipipi. Aku segera mengusapnya dengan punggung tangan. Tapi entah mengapa air yang terasa asin itu semakin deras mengaliri pipi.
Akhirnya aku menyerah pada keadaan hati yang kian terasa pedih. Kubiarkan air mata itu terus keluar tanpa ada yang menghalangi. Ternyata air mata ini memang sudah lama ingin keluar, hanya saja aku selalu berusaha untuk tidak mempedulikannya.
Kalau dirasakan lagi, perubahan sikapnya memang sudah agak lama terjadi. Sudah hampir sebulan dia tidak lagi menatapku dengan tatapan lembutnya. Tidak lagi menatapku dengan sorot tenang matanya. Dia selalu berusaha menjauh dariku. Kalaupun ada didekatku, dia sudah tidak pernah lagi memanggilku dengan kata ‘sayang’.
Aku rindu padanya. Aku rindu gurat sayangnya. Aku rindu semua sikap manjanya. Kemanakah dia yang dulu? Kemanakah kasih sayang yang pernah dia berikan padaku?
***
Malam ini aku memutuskan untuk berdiam diri dikamar. Memang biasanya aku juga jarang keluar rumah kalo ga ada keperluan. Tapi setidaknya aku malas nonton tv malam ini.
Sesaat kemudian aku merasa sedikit terkejut dengan bunyi pesan dari handphone. Akhirnya dia mau juga membalas pesanku.
Assalamualaikum,
aq mau tlp qm,
bsa??
Aku segera membalasnya, karna aku tau dia tidak akan mau menunggu lama.
Wa’alaikumsalam,
bsa kug,
“Halo, assalamualaikum.”, sapaku lebih dulu padanya ditelepon.
“Wa’alaikumsalam.”, begitu singkat jawabnya.
“Uda makan malam sayang?”, tanyaku berusaha mencairkan kesunyian sesaat setelah dia menjawab salamku tadi.
“Udah. Kamu gimana?”
“Aku juga udah makan kok!”, jawabku.
Kembali terdiam. Akhirnya aku berusaha memberanikan diri untuk bertanya.
“Aku rasa kamu mau ngomong sesuatu. Ada apa?”
“Aku mau ngomong penting sama kamu. Ada waktu?”
“Selalu ada waktu buat kamu. Langsung ngomong aja.”
Aku rasa aku tau apa yang mau dia omongin. Tentang hal itu. Kalimat menyakitkan itu. Air mataku mengalir kembali.
“Sebelumnya maaf, tapi aku udah ga bisa melanjutkan hubungan kita.”
“Kenapa? Apa aku punya salah sama kamu?”, aku berusaha mencari jawaban darinya.
“Ga kok. Kamu ga punya salah apa-apa sama aku. Cuma aku ngerasa jenuh sama hubungan kita ini.”
Aku menangis dalam diam. Benar-benar susah untuk mengatakan sesuatu. Tapi aku berusaha menahan suara tangis itu. Aku berusaha memberikan suara setenang mungkin padanya.
“Lalu sekarang mau kamu gimana?”, tanyaku dengan susah payah menahan suara agar tidak bergetar.
“Mungkin lebih baik kita udahan aja. Kita jalan sendiri-sendiri lagi. Kamu dengan semua urusan kamu, dan aku dengan diriku sendiri.”
“Baiklah kalau itu memang mau kamu. Mudah-mudahan kamu senang dan bisa dapat yang lebih baik dari aku. Aku sayang kamu, Assalamualaikum.”
Begitu kalimat terakhirku untuknya sebelum telepon aku tutup. Aku sudah tidak bisa menahan air mat a ini. Aku ingin menumpahkan semuanya malam ini.
Yah, semuanya berakhir kembali. Sesuatu yang sudah susah payah aku bangun ini harus berakhir. Mungkin ini memang jalan terbaik. Aku tidak mau memaksakan keberadaanku disampingnya.
Aku sakit lagi malam ini…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar